Rabu, 10 September 2008




ECONOMIC (Kemiskinan di Indonesia)





KEMISKINAN SEBAGAI FAKTA DAN MASALAH

Ferlian Maritta
Kartika A.Rini


Kemiskinan adalah suatu isu klasik, yang sekaligus juga tetap merupakan isu kontemporer, yang tidak hanya diangkat dalam setiap debat politik di kalangan para pemuka nasional melainkan juga sudah dipandang demikian serius pada tataran global. Kemiskinan di Indonesia, misalnya, sudah tidak lagi cuma merisaukan para pejabat di tingkat nasional, tetapi juga sudah merisaukan para pemuncak di negeri-negeri sekitarnya, dan bahkan juga para petinggi dari negeri-negeri kaya yang sekali-pun berada jauh di lain benua
Semula, berabad lamanya, kemiskinan dianggap sebagai suatu kewajaran yang tak perlu dipermasalahkan. Model kehidupan kuno membenarkan adanya varian kaya-miskin, dan bahkan serta merta mengukuhkannya ke dalam ke konstruksi-konstruksi struktural yang mengenal -- dan menghegemoni pikiran banyak pihak mengenai -- kebenaran hidup yang berkasta-kasta dan/atau berkelas-kelas. Sebagian ajaran malah menyatakan bahwa semua itu adalah bagian dari hukum kodrat. Dikata-kan bahwa askripsi sosial, yang hendak mendikotomikan kaya-miskin, bersejajar dengan dikotomi ningrat yang berbangsa dan kawula yang hina-dina, dikatakan bukan tanggungjawab manusia, melainkan hanya refleksi saja dari apa yang telah terkodrat sebagai bagian dari takdir.
“Semua orang diciptakan dalam derajat dan martabat yang sama”, demikian slogannya. Tapi slogan ideal yang diagungkan seperti itu nyatanya harus digaungkan di tengah kenyataan bahwa tidak semua orang berada dalam taraf kehidupan yang sama. Kebebasan manusia yang konon tercipta dalam derajat dan martabatnya yang sama itu ternyata tidak mempunyai potensi yang sama, yang oleh sebab itu lalu tak mampu mengembangkan diri dengan kecepatan dan hasil akhir yang sama.
Indoktrinasi yang intens, dan hegemoni yang ekstens, telah memperkukuh kembali kekuasaan sentral yang otokratik, yang dengan kekuasaannya bisa meyakinkan massa rakyat bahwa pengorbanan di bawah kepemimpinan nasional, demi kejayaan masa depan bangsa, adalah suatu keniscayaan dan keharusan. Inilah usaha total yang harus dikerjakan dengan mempersatukan seluruh kekuatan bangsa, yang semula direncanakan sebagai program-program pembangunan, namun yang kemudian dicurigai banyak pemerhati sebagai usaha kolutif, dalam suatu kerangka “ideologi baru”, yang secara tak pernah resmi disebut ‘pembangunanisme’.
Pembangunanisme adalah suatu paham yang amat chauvenistik yang lebih mengenali keharusan untuk “menguasai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya”, tetapi melupakan kemuliaan tujuannya bahwa semua itu harus “digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.Chauvenisme, yang telah memotivasi semangat pembangunan dengan kuatnya, memang telah membuktikan kejayaannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menjadikan bangsa ini jaya dan kaya. namun tetap mengesankan dengan kuatnya bahwa keberhasilan itu tidak hendak dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan. Kepentingan reinvestasi, dan apa yang dinamakan sustainable development, lebih didahulukan daripada kepentingan pemupukan modal sosial lewat pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak keluarga miskin.
Kalaupun dalam proses ini kemiskinan yang absolut sedikit banyak bisa dikurangi, tidaklah itu serta merta berarti bahwa kesenjangan telah kian menyempit. Jarak antara taraf hidup yang kaya dan yang miskin kian menjauh. Kata orang, “kalau si miskin sekarang sudah bisa beli sepeda pancal, dan kemudian juga bisa mengganti sepeda bututnya itu dengan motor Jialing, si kaya kini sudah bisa mengganti mobil Timornya dengan Volvo dan Jaguar”. Atau, “kalau si miskin sekarang sudah bisa berhemat-hemat mengatasi UMR-nya dan kemudian bisa memperoleh kredit guna membeli RSS(S), si kaya kini sudah mencuci uangnya guna menanamkan modalnya dalam bentuk condominium properties di Singapura atau Australia (atau ada juga yang di British Colombia, Kanada).
Maka, permasalahan yang dihadapi kini ini bukan lagi semata-mata berupa permasalahan ekonomi tentang ada tidaknya kemiskinan yang absolut, melainkan permasalahan sosial tentang adanya kemiskinan yang relatif, dan bahkan permasalahan politik yang mengundang isu tentang kemungkinan telah adanya proses pemiskinan massal. Memang benar kata sebagian pengkaji yang membuktikan kebenaran realitas faktual, bahwa kesenjangan akan selalu saja ada antara yang kaya dan yang miskin. Tetapi, kini ini, yang menjadi isu sentral adalah, selebar apakah jarak kesenjangan itu menganga, dan seintens apakah khalayak yang kurang berada itu merasa diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ini oleh para pemuka-pemukanya yang semula mereka percaya melaksanakan amanah.
Cara menanggulangi kemiskinan adalah:
1. Kurangi korupsi.
2. percayakan produk lokal dan kalo bisa dinomorsatukan
3. tingkatkan mutu barang
4. sehingga terbuka lapangan kerja
5. Karena terbuka lapangan kerja, Maksimalkan pendidikan dan ketrampilan
6. Jujur.
7. Gigih
8. Usaha
Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut telah dilakukan berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No. 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut men­jadi krisis multidimensional, diluncurkan program daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan program pengentasan kemiskinan perkotaan (P2KP), peluncuran program Jaring Pengaman Sosial, Bantuan Langusng Tunai, Pembagian raskin, Askes Maskin, dll.
Dampak kemiskinan
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.