Rabu, 29 Oktober 2008

PEREKONOMIAN DI AMERIKA




Bush: Perekonomian Amerika Dalam Bahaya



Saturday, 27 September 2008
Presiden Amerika Serikat, George W. Bush menyatakan, dalam kondisi saat ini ekonomi Amerika dalam ancaman bahaya. Dalam pidatonya yang disiarkan di radio di seluruh Amerika kemarin, 27/9, Bush mengatakan, munculnya problem dalam sistem finansial negara ini telah mengakibatkan berbagai kesulitan bagi warga dan para pembayar pajak yang hal ini berimbas pada resesi ekonomi dan hilangnya lapangan kerja. Bush tetap mendukung kebijakan pemerintah untuk terus memberikan dukungan secara finansial kepada bank-bank yang dilanda krisis. Hingga kini telah dialokasikan dana sebesar 700 milyar dolar untuk membeli saham bank-bank dan lembaga finansial yang dalam kondisi krisis. Menurutnya kebijakan ini tidak akan berdampak negatif pada para pembayar pajak.
Padahal di lain pihak, Kongres Amerika Serikat sebelumnya telah menyatakan penentangannya terhadap rencana alokasi 700 milyar dolar tersebut. Mantan Presiden Amerika, Jimmy Carter, secara tegas mengkritik program penyelamatan finansial Bush tersebut dan menilainya keliru. Di sisi lain, defisit bujet pemerintah Amerika saat ini telah mencapai angka 500 milyar dolar. Sementara biaya perang di Irak dan Afghanistan telah melampaui angka 1 trilyun dolar.


Krisis Belum Berlalu

Penyelamatan perbankan belum menyentuh akar persoalan. Resesi tetap mengancam.
David Salt sama sekali tak antusias mendengar penjelasan Perdana Menteri Gordon Brown soal dana talangan 500 miliar pound sterling atau setara dengan US$ 865 miliar (Rp 8.217 triliun) bagi bank-bank di Inggris. Sebab, pidato Brown sama sekali tak sanggup menolongnya. Tak sampai tiga jam setelah pengumuman itu, Kamis dua pekan lalu, David harus meneken surat pemecatannya dan segera angkat kaki dari kantor Castle Clay, pabrik batu bata di Newcastle, Inggris.
Kini, setiap minggu pria 47 tahun itu menerima tunjangan 60,5 pound sterling sebagai pencari kerja. Padahal dia sama sekali bukan karyawan yang buruk. ”David pekerja yang teliti. Hasil kerjanya bagus,” kata Chris Rhodes, bosnya di Castle Clay. Tapi perusahaan itu harus merampingkan usaha karena, kalau tidak melakukannya, bakal bangkrut. ”Sudah lebih dari enam minggu telepon kantor membisu. Tak ada telepon, tak ada penjualan.”
Castle Clay terkena imbas dari bisnis properti di Inggris yang sedang loyo. ”Orang berhenti membeli rumah,” kata Noble Francis, Direktur Ekonomi Construction Products Association, lesu. Salah satu pangkal persoalannya, bank yang biasanya royal mengucurkan kredit untuk pembelian rumah berubah jadi pelit.
Pada Agustus lalu, duit bank yang mengalir untuk kredit pembelian properti hanya 143 juta pound sterling. Angka itu jauh menyusut, bahkan kurang dari lima persen dari kredit properti bulan Juli yang masih 3 miliar pound sterling. Jumlah proposal kredit untuk masing-masing rumah yang disetujui pun hanya 32 ribu—bandingkan dengan rata-rata enam bulan sebelumnya, yang berkisar 88 ribu. Berdasarkan data Bank of England, angka penjualan rumah pada Agustus itu merupakan yang terendah sejak setengah abad silam.
Akibatnya, harga properti di Inggris jatuh. Jika dibandingkan dengan setahun lalu, banderol properti di Inggris pada September kemarin sudah terpangkas 13,3 persen. Kepala Ekonom HBOS (salah satu bank pemberi kredit properti di Inggris) Martin Ellis memperkirakan harga properti masih akan terus terperosok hingga 20 persen.
Melihat angka-angka yang begitu suram, perusahaan properti mengerem atau bahkan menghentikan sama sekali pembangunan rumah baru. Takut tak terserap pasar, perusahaan sektor lain juga memangkas produksinya. Walhasil, semakin banyak yang bernasib seperti David. HSBC, misalnya, memecat 1.100 karyawannya, perusahaan farmasi GlaxoSmithKline mengurangi 400 pegawainya, dan stasiun televisi ITV mempersilakan seribu karyawannya mencari pekerjaan lain.
Hingga Agustus 2008, jumlah penganggur di Inggris melejit menjadi 1,79 juta orang atau 5,7 persen dari angkatan kerja. Menurut International Labour Organization, inilah tingkat pengangguran terparah sejak Juli 1991. Semua sinyal itu menunjukkan perekonomian Inggris sedang mengarah ke resesi. Dana Moneter Internasional (IMF) meramalkan pertumbuhan ekonomi negeri Ratu Elizabeth itu tahun depan bakal minus 0,1 persen.
Perekonomian Amerika Serikat serta Jerman dan Spanyol menunjukkan gejala ”sakit” yang kurang-lebih sama. Jika dibandingkan dengan harga properti saat puncak pada kuartal pertama 2006, menurut Asosiasi Agen Properti, harga rumah di Amerika sekarang sudah terpangkas 12 persen. Jika diukur dengan indeks Case-Shiller-Standard & Poor’s, harga properti Amerika sudah melorot 18 persen dari harga puncak.
Mark Zandy, Kepala Ekonom Moody’s Economy, mengatakan harga properti masih akan terus menyusut 10-15 persen lagi. Padahal inilah sumber pertama badai krisis keuangan yang sekarang mengancam perekonomian global. Dan akar persoalan ini relatif belum tersentuh kebijakan penyelamatan ekonomi yang diluncurkan Menteri Keuangan Amerika Serikat Henry Paulson. ”Sangat mengecewakan, mereka tidak melakukan apa pun,” kata Martin Feldstein, ekonom Harvard University.
Yang lebih mengkhawatirkan, penjualan produk retail pada September lalu turun 1,2 persen dibanding Agustus—lebih parah dari penurunan dua bulan sebelumnya. Data penurunan belanja ini konsisten di 12 kota metropolitan di Negeri Abang Sam. Tak hanya penjualan produk retail, jumlah pembeli mobil-motor juga mengempis sekitar empat persen.
Angka-angka itu menunjukkan warga Amerika mulai mengirit dan mengurangi konsumsi. Padahal konsumsi adalah salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi. ”Perekonomian, saya percaya, sedang dalam resesi,” kata Paul Volcker, mantan Chairman Federal Reserve, bank sentral Amerika. Resesi—”status” ini memang belum secara formal diumumkan pemerintah Amerika.
l l l

Rabu, 10 September 2008




ECONOMIC (Kemiskinan di Indonesia)





KEMISKINAN SEBAGAI FAKTA DAN MASALAH

Ferlian Maritta
Kartika A.Rini


Kemiskinan adalah suatu isu klasik, yang sekaligus juga tetap merupakan isu kontemporer, yang tidak hanya diangkat dalam setiap debat politik di kalangan para pemuka nasional melainkan juga sudah dipandang demikian serius pada tataran global. Kemiskinan di Indonesia, misalnya, sudah tidak lagi cuma merisaukan para pejabat di tingkat nasional, tetapi juga sudah merisaukan para pemuncak di negeri-negeri sekitarnya, dan bahkan juga para petinggi dari negeri-negeri kaya yang sekali-pun berada jauh di lain benua
Semula, berabad lamanya, kemiskinan dianggap sebagai suatu kewajaran yang tak perlu dipermasalahkan. Model kehidupan kuno membenarkan adanya varian kaya-miskin, dan bahkan serta merta mengukuhkannya ke dalam ke konstruksi-konstruksi struktural yang mengenal -- dan menghegemoni pikiran banyak pihak mengenai -- kebenaran hidup yang berkasta-kasta dan/atau berkelas-kelas. Sebagian ajaran malah menyatakan bahwa semua itu adalah bagian dari hukum kodrat. Dikata-kan bahwa askripsi sosial, yang hendak mendikotomikan kaya-miskin, bersejajar dengan dikotomi ningrat yang berbangsa dan kawula yang hina-dina, dikatakan bukan tanggungjawab manusia, melainkan hanya refleksi saja dari apa yang telah terkodrat sebagai bagian dari takdir.
“Semua orang diciptakan dalam derajat dan martabat yang sama”, demikian slogannya. Tapi slogan ideal yang diagungkan seperti itu nyatanya harus digaungkan di tengah kenyataan bahwa tidak semua orang berada dalam taraf kehidupan yang sama. Kebebasan manusia yang konon tercipta dalam derajat dan martabatnya yang sama itu ternyata tidak mempunyai potensi yang sama, yang oleh sebab itu lalu tak mampu mengembangkan diri dengan kecepatan dan hasil akhir yang sama.
Indoktrinasi yang intens, dan hegemoni yang ekstens, telah memperkukuh kembali kekuasaan sentral yang otokratik, yang dengan kekuasaannya bisa meyakinkan massa rakyat bahwa pengorbanan di bawah kepemimpinan nasional, demi kejayaan masa depan bangsa, adalah suatu keniscayaan dan keharusan. Inilah usaha total yang harus dikerjakan dengan mempersatukan seluruh kekuatan bangsa, yang semula direncanakan sebagai program-program pembangunan, namun yang kemudian dicurigai banyak pemerhati sebagai usaha kolutif, dalam suatu kerangka “ideologi baru”, yang secara tak pernah resmi disebut ‘pembangunanisme’.
Pembangunanisme adalah suatu paham yang amat chauvenistik yang lebih mengenali keharusan untuk “menguasai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya”, tetapi melupakan kemuliaan tujuannya bahwa semua itu harus “digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.Chauvenisme, yang telah memotivasi semangat pembangunan dengan kuatnya, memang telah membuktikan kejayaannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menjadikan bangsa ini jaya dan kaya. namun tetap mengesankan dengan kuatnya bahwa keberhasilan itu tidak hendak dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan. Kepentingan reinvestasi, dan apa yang dinamakan sustainable development, lebih didahulukan daripada kepentingan pemupukan modal sosial lewat pendidikan, khususnya pendidikan untuk anak-anak keluarga miskin.
Kalaupun dalam proses ini kemiskinan yang absolut sedikit banyak bisa dikurangi, tidaklah itu serta merta berarti bahwa kesenjangan telah kian menyempit. Jarak antara taraf hidup yang kaya dan yang miskin kian menjauh. Kata orang, “kalau si miskin sekarang sudah bisa beli sepeda pancal, dan kemudian juga bisa mengganti sepeda bututnya itu dengan motor Jialing, si kaya kini sudah bisa mengganti mobil Timornya dengan Volvo dan Jaguar”. Atau, “kalau si miskin sekarang sudah bisa berhemat-hemat mengatasi UMR-nya dan kemudian bisa memperoleh kredit guna membeli RSS(S), si kaya kini sudah mencuci uangnya guna menanamkan modalnya dalam bentuk condominium properties di Singapura atau Australia (atau ada juga yang di British Colombia, Kanada).
Maka, permasalahan yang dihadapi kini ini bukan lagi semata-mata berupa permasalahan ekonomi tentang ada tidaknya kemiskinan yang absolut, melainkan permasalahan sosial tentang adanya kemiskinan yang relatif, dan bahkan permasalahan politik yang mengundang isu tentang kemungkinan telah adanya proses pemiskinan massal. Memang benar kata sebagian pengkaji yang membuktikan kebenaran realitas faktual, bahwa kesenjangan akan selalu saja ada antara yang kaya dan yang miskin. Tetapi, kini ini, yang menjadi isu sentral adalah, selebar apakah jarak kesenjangan itu menganga, dan seintens apakah khalayak yang kurang berada itu merasa diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ini oleh para pemuka-pemukanya yang semula mereka percaya melaksanakan amanah.
Cara menanggulangi kemiskinan adalah:
1. Kurangi korupsi.
2. percayakan produk lokal dan kalo bisa dinomorsatukan
3. tingkatkan mutu barang
4. sehingga terbuka lapangan kerja
5. Karena terbuka lapangan kerja, Maksimalkan pendidikan dan ketrampilan
6. Jujur.
7. Gigih
8. Usaha
Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut telah dilakukan berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No. 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut men­jadi krisis multidimensional, diluncurkan program daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan program pengentasan kemiskinan perkotaan (P2KP), peluncuran program Jaring Pengaman Sosial, Bantuan Langusng Tunai, Pembagian raskin, Askes Maskin, dll.
Dampak kemiskinan
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.